Kelas 3 akhir SMA...
“Dav, kok kalau gue lihat lo perfect banget sih, udah
cantik, kayak artis, anak orang kaya, koleksi gadget lengkap, pintar nya jenius
lagi.. gue pengen jadi lo dav” ujar tiffany
“Tif, aku menyayangkan dari kamu; kamu kok kurang mencintai
dirimu sendiri ? syukuri apa yang ada lah tif, perkiraan kamu salah, aku ngga
menikmati segala kekayaan dari orang tuaku, memang segala kebutuhanku selalu
tercukupi, tapi yang aku butuhin malah hilang” ujarku
“Tapi kepintaran lo ngga hilang kan? Nilai unas lo aja
tertinggi satu sekolah, gadget lo buanyaaaaak, ada iPad, iPod, handphone lo
apple iPhone keluaran terbaru, bb pun lo punya, Mac, Slr, yaaaaaaampun tuan
putri banget deh lo pokoknya” ucap dera
“semua gadget itu aku ngga minta kok, papa selalu bawain itu
kalau abis pulang dari luar negeri, jadi numpuk deh di rumah, aku juga ngga
sering makai itu gadget kok, kebanyakan main gadget bikin kegunaan otak jadi
turun, alhasil otak jadi down dan bisa bikin bodoh, memangsih main gadget bisa
disangka anak eksis banget, tapi aku ngga suka gitu, punya handphone satu yang
warna layarnya kuning sama ngga ada kamera aja aku udah lebih dari cukup kok,
kan kegunaannya buat telepon dan sms doang” ujarku mulai gerah
“udah ya, kalian jangan muji barang barang yang bukan
milikku, kalian boleh muji kalau aku udah sukses nanti” melanjutkan perkataanku
yang tercekat tadi.
Fanya langsung menarik tanganku untuk menghindari percakapan
dengan mereka lebih lanjut.
“kelihatan sekali mereka matre, mereka juga main kerumah mu
cuma buat minta bantu kerjain pr dan minjem gadget buat ngeksis di dunia maya
kan dav?” tanya fanya berbisik
“udah lah fan, lagian aku ngga keberatan tapi seenggaknya
aku tau kalau mama bohong” jawabku
“mama mu bohong? Bohong gimana maksutmu?” tanya fanya penasaran
“ya mama bilang waktu aku SMP, bilang bahwa teman SMA lebih
bisa memilih mana yang baik dan buruk, lebih bisa nerima temannya apa adanya
dan kalau aku lihat sih yang di bilang mama ngga ada di dalam diri tiffany,
dera maupun nia atau teman lainnya, yang di bilang mama cuman ada di dalam diri
fania rasya kurniadiantoro”
“AHH makasih banyak kalau kamu beranggapan seperti itu, aku
tulus berteman sama kamu soalnya kamu juga tulus sama aku dav hehe” ujar fanya
tersipu malu
“TAPI KENAPA MAMA HARUS BILANG KAYAK GITU, cari temen bener
bener susah fan,nyatanya coba lihat tiffany,dera dan nia.. mereka masih sangat
palsu, mereka itu fake friend! Oh my God!
apa mungkin kata kata mama cuman buat nenangin aku yang pada waktu itu
lagi gelisah? Untungnya kehadiran kamu lebih bisa mengontrol emosiku, ah
sudahlah aku tidak mau memikirkan wanita dan pria yang lebih berpihak pada
kariernya dan tidak memperdulikan anaknya” ujarku dengan perasaan kacau.
Tahun 2009.
“kita kuliah bareng ya fan, kan universitas yang kamu pengen
ngga jauh dari rumahku jadi kamu menginap di rumahku ya, papa mamamu pasti ngga
masalah kan udah kenal sama keluargaku hihi” tawarku pada fanya.
“Iyadeh, lagian aku kasian sama kamu, tinggal di rumah
sebesar ini hanya dengan 4 orang itupun 2pembantu, 1 tukang kebun sama 1 supir,
pasti kamu ngga ada temen ngobrol” ujar fanya mengasihani
“kamu pengertian banget fan, ngga jauh beda dengan saat SD
dulu” ujarku langsung memeluk fanya
***
Papa dan mama sudah tidak peduli, mereka tidak membantu
menguruskan seperti saat aku masuk SMA, saat indah itu, mama yang menyetrika
seragam imut SMA ku dengan tangannya sendiri, memasakkan sarapanku dengan
tangannya sendiri, papa yang mengantarkan aku dengan mengemudikan mobil
menggunakan tangan, kaki dan matanya sendiri.. sekarang? Aku hanya di bantu
oleh seorang bibi pembantu dan seorang supir pribadi, kemana papa mamaku yang
dulu? Yang selalu menyempatkan waktunya untuk membuatku menyunggingkan senyumku
untuk mereka, KEMANNNNNAAAA SEMUA YANG INDAH?
Aku daftar di perguruan tinggi yang udah papa & mama
targetkan untukku. Okay aku turutin. Papa & mama menyuruhku mengambil
jurusan ekonomi agar aku bisa mengikuti jejak mereka sebagai pengusaha,
sayangnya jiwaku bukan disitu. Jiwaku terletak di sastra dan desain.
“Fan, enaknya aku masuk desain grafis atau sastra indonesia
ya?” tanyaku
“Kamu enaknya dan nyamannya dimana ? aku sih terserah kamu,
yang ngejalanin kan kamu masa harus ngikuti pendapat orang lain, tapi bukannya papa mamamu nyuruh
ngambil ekonomi ya?” tanya fanya berbisik
“Ngga usah pake bisik bisik, ngga bakalan ada yang denger
ini rumah kan sepi, aku sih pengen ya desain grafis karena sastra aku udah
cukup mahir di SMP dan SMA buktinya udah cetak buku hehe, tunggu deh kamu
sendiri kan yang bilang, aku yang ngejalanin mana mungkin aku ngikutin omongan
orang lain sekalipun itu orang tuaku sendiri.” Jawabku dengan jelas
“Iyeiye, kamu semuanya mahir dav, kamu kan jenius nya udah
di ambang kelebihan batas WAHAHA, aku sih lebih suka kamu jadi penulis tapi
ngga ada salahnya kamu jadi editor yang bergerak di bidang desain cover buku
mungkin, sebenarnya desain itu gabungannya sama foto sama sastra, pasti
berkelut sama itu itu doang jadi yang kamu pengen ngga bakalan melenceng jauh
kaya dari sastra ke ekonomi.. yaudah ikutin kata hatimu aja, okey aku selalu
dukung kok” ujar fanya.
Fanya mengambil jurusan informatika. Aku bisa saja sih
menyamai fanya mengambil jurusan itu tapi rasanya kurang srek.
segala biaya udah
di transfer papa ke rekeningku, aku pergunakan uang itu dengan baik, dengan
mendaftar jurusan desain grafis.
***
Papa telepon..
“Davina, gimana..
kamu jadi ekonomi kan?”
“Engga pa, davina
ngga suka.. davina ambil desain grafis” jawabku halus.
“Kamu ini
bagaimanasih, jangan seenaknya sendiri, kami sudah menargetkan ekonomi untuk
kamu, kamu ini harus jadi sarjana ekonomi bukan desain grafis, kamu mau jadi
apa ? gelandangan? Tukang edit? APAAA? Ujung ujungnya juga bakalan lontang
lantung kamu” nada bicara papa meninggi. Kedengarannya kasar. Fanya di
sebelahku melongo kebingungan yang sedari tadi mendengar percakapanku via
telepon yang di speaker.
Fanya
mengelus-elus dadanya sebagai isyarat aku harus sabar dan tidak terpancing
emosi papa.
“Pa, aku yang
ngejalanin, kalau aku ngga suka kalau aku ngga nyaman hasilnya juga bakalan
nihil pa, papa tau kan, kerjaaan dan segala aktifitas akan berujung indah kalau
dijalani dengan hati, davina tau.. papa suka sekali menjadi pengusaha makanya
papa sukses sekarang, karena papa menjalani-nya dengan hati, tapi davina bukan
papa, yang suka mengejar kesuksesan sehingga menimbun kekayaan yang memicu
hadirnya ketamak-an dalam diri, maaf pa” ujarku dengan lembut. Aku tau
bagaimana cara berbicara yang baik dengan orang tua. Tapi papa ngga tau
bagaimana cara yang baik berbicara dengan anaknya tanpa dengan nada kasar
sedikitpun.
“KAMU SEKARANG
SUDAH BISA MENGAJARI PAPA ? SASTRA YANG MEMBUAT KAMU PINTAR BERBICARA SEPERTI
SEKARANG? Ikut acara debat saja kamu, asalkan jangan berdebat dengan papa. Papa
akui davina, kamu memang anak yang jenius, mampu berkelut pada segala mata
pelajaran apapun tapi ekonomi itu akan membawa hasil yang baik untuk kamu
nantinya” nada kasar papa melunak.
“Tapi bagaimana
jika davina tidak bisa mencintai ekonomi? Sama saja davina menghancurkan masa
depan davina, membuang buang waktu davina untuk mempelajari ekonomi selama 4
tahun tapi tak berguna juga nantinya” ujarku
“YASUDAH,
TERSERAH KAMU, SUSAH BICARA DENGAN ANAK YANG BARU MENCOBA MENG-INJAKKAN KAKINYA
DI DUNIA ORANG DEWASA, papa telepon kamu bukan untuk berdebat davina, kalau itu
mau kamu, papa ngga mau tahu, terserah” nada kasar itu terulang lagi sehingga
nada terputusnya telepon terdengar nyaring di tengah tengah keheningan.. tut
tut tut tut....
Tetes demi tetes
berjatuhan, air mata. Air mata yang tertahan
mencoba berlomba lomba menjatuhi pipi. Ini air mata kepedihan, “SEJAK
KAPAAAAAAN PAPA BERUBAH MENJADI MONSTER YANG KASAR? YANG MENYAKITI MANUSIA
DENGAN MEMBANTINGKANNYA KE ASPAL?” jerrrrrit gue di kasur. Di hadapan fanya,
sahabatku. Fanya terdiam melihatku terpukul. 2 pembantuku kaget lalu menelepon
mama yang sedang beda tempat kerja dengan papa.
“ku rasa,
semuanya berubah semenjak papamu mengenal kesuksesan, aku mengenal om bram,
sekalipun Ia tak pernah berlaku kasar kepada anaknya...aku sangat mengenal om
bram, dia papa yang penyayang, sangat menyayangi davina argantara, anak
tunggalnya” ujar fanya..
Aku termenung
mendengar perkataan davina. Lamunanku terpecah saat handphone ku berdering,
saat mama meneleponku.
Hatiku sudah di
selimutin dengan perasaan amarah, emosi yang meluap-luap. Tanpa sadar aku
mengangkat telepon mama dengan nada yang meninggi.
“APA MA? MAMA
JUGA MAU MEMAKSA DAVINA UNTUK MENGAMBIL EKONOMI SEBAGAI PENUNTUN MASA DEPAN
DAVINA? MAMA MAU MEMARAHI DAVINA DENGAN KASAR SEPERTI PAPA BARUSAN? MAMA SAMA
PAPA SAMA SAJA, tak ada pengertian” ujarku kesal
“Davina dengar
mama, papa hanya terpancing emosi sayang, kata bibi kamu menangis menjerit
jerit makanya mama khawatir dan langsung nelpon kamu” ujar mama dengan lembut
“Mama khawatir ?
jangan hanya bicara ma, buktikan! Mama pulang sekarang kalau mama khawatir,
tenangin davina disini maaa” ujarku mendesah pedih
“Sayaaang mama
banyak kerjaan, maaf mama belum bisa pulang”
Seketika jari
jariku refleks memencet tombol mematikan telepon. Sudah muak dengan kata
‘sibuk’. OOH SEKARANG ANAK MAMA DAN PAPA NAMANYA BISNIS, BUKAN DAVINA LAGI,
jelas aja bisnis terus yang di urusin.
Seketika fanya
memelukku saat aku sudah mulai kehilangan arah. Saat aku mulai larut dalam
kekacauan yang orang tuaku buat.
Ini dia sahabat
sejati, yang asli, murni , tulus, tanpa dasar apapun. Mengerti, tidak matre,
tidak pernah mengolok-olok ku meskipun berupa lelucon kecil.
“ku rasa hidupku
belum berakhir, masih ada berbagai permasalahan yang menungguku di hari esok”
ujarku.
“[lanjutan di >> “Serpihan kisah masa lalu"]
-Rebecca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar